Zaman dulu, mimpi anak muda kebanyakan jelas: kerja keras, punya mobil, rumah besar, uang miliaran, dan hidup mapan di usia 30-an. Tapi di tahun 2025, tren itu mulai bergeser drastis. Banyak anak muda justru bilang,
“Aku nggak mau jadi kaya. Aku cuma mau hidup cukup dan damai.”
Fenomena ini dikenal sebagai anti-hustle movement — gerakan diam-diam di mana banyak generasi muda menolak gaya hidup ambisius dan kerja mati-matian demi kekayaan.
Bukan karena malas, tapi karena sadar: “kaya” tidak selalu berarti bahagia.
Contents
Apa Itu Anti-Hustle Movement?
Anti-hustle adalah gaya hidup di mana seseorang:
- Tidak terobsesi kerja 24/7
- Tidak mengejar status sosial atau kekayaan berlebihan
- Fokus ke hidup yang sehat, tenang, dan punya waktu untuk diri sendiri
Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap budaya hustle yang dulu diagungkan:
- “Work hard, play later”
- “Kaya sebelum 30”
- “Kalau belum sukses, berarti kurang usaha”
Di 2025, narasi ini mulai dianggap toxic. Anak muda semakin sadar bahwa:
“Kebebasan waktu dan mental jauh lebih mahal daripada gaji besar.”
Kenapa Banyak Anak Muda Berpaling dari Mimpi Jadi Orang Kaya?
1. Harga Hidup Terus Naik, Gaji Tetap
Banyak generasi muda merasa bahwa meskipun kerja keras, harga rumah, pendidikan, dan kesehatan makin mahal — impian hidup ‘mapan’ terasa mustahil.
Alih-alih stres ngejar target, mereka memilih hidup realistis:
- Tinggal di kota kecil
- Freelance tapi cukup
- Punya waktu, bukan utang
2. Kaya Tidak Selalu Sama dengan Bahagia
Banyak yang melihat contoh nyata:
- Orang kaya yang stres dan overwork
- Influencer yang burnout
- Bos yang punya mobil mewah tapi nggak punya waktu untuk keluarga
Mereka pun bertanya:
“Kalau kaya bikin capek dan nggak bisa hidup tenang, kenapa dikejar?”
3. Normalisasi ‘Cukup’ Jadi Gaya Hidup Baru
Fenomena frugal living, slow living, dan minimalisme kini makin populer. Anak muda lebih suka:
- Hidup di kampung dengan laptop & Wi-Fi
- Makan sederhana tapi sehat
- Nonton senja daripada rapat Zoom tanpa henti
Definisi sukses pun berubah. Bukan lagi “punya semuanya”, tapi “cukup & bahagia”.
4. Kesehatan Mental Jadi Prioritas
Burnout, anxiety, dan depresi jadi isu nyata di kalangan anak muda. Banyak yang menyadari:
- Uang banyak nggak ada gunanya kalau terus cemas
- Keseimbangan hidup lebih penting daripada naik jabatan
Mereka lebih memilih kerja yang fleksibel, walau gajinya standar, asal tidak membuat mereka kehilangan kendali atas hidup sendiri.
5. Pekerjaan Fleksibel Jadi Mainstream
Di era AI dan remote working, kamu bisa:
- Dapat uang dari 1-2 jam kerja sehari
- Jualan digital product sambil traveling
- Nulis, desain, voice over, coding dari kamar kos
Tanpa harus jadi “crazy rich”, mereka sudah bisa hidup enak — dengan cara yang santai tapi tetap produktif.
Anti-Hustle Bukan Berarti Anti-Kerja
Gerakan ini bukan ajakan untuk jadi pemalas. Justru sebaliknya:
- Kerja tetap dilakukan, tapi dengan cara sehat
- Fokus ke kualitas hidup, bukan performa yang dipaksa
- Hidup sesuai kapasitas diri, bukan standar orang lain
Orang-orang anti-hustle tetap produktif, tapi mereka sadar bahwa hidup bukan perlombaan.
Apakah Fenomena Ini Akan Bertahan?
Kemungkinan besar, iya. Karena:
- Generasi muda lebih sadar akan burnout
- Banyak peluang kerja sekarang fleksibel & tidak hierarkis
- Gaya hidup slow-living lebih ramah lingkungan & berkelanjutan
- Konten anti-hustle makin populer di TikTok, YouTube, dan podcast
Tanda Kamu Mulai Masuk Anti-Hustle Era:
✔ Lebih suka kerja part-time atau freelance
✔ Nggak iri lihat teman beli rumah/mobil
✔ Suka nonton konten “Life in village” atau “living slowly”
✔ Menolak kerja lembur demi promosi
✔ Lebih peduli waktu istirahat daripada bonus akhir tahun
Kesimpulan
Menjadi “orang kaya” bukan lagi tujuan utama semua orang. Di 2025, makin banyak anak muda yang sadar bahwa kebebasan, ketenangan, dan waktu untuk diri sendiri jauh lebih bernilai dari sekadar angka di rekening.
Bukan berarti nggak boleh punya mimpi besar. Tapi kalau kamu memilih untuk hidup cukup, bahagia, dan nggak ngoyo — kamu bukan gagal.
Kamu hanya memilih hidup versi kamu sendiri.
Baca Juga: Pekerjaan yang Terancam Digantikan AI di Indonesia: Siapa Harus Siap-Siap?