Assassin’s Creed Shadows, seri terbaru dari franchise ikonik buatan Ubisoft, akhirnya resmi diumumkan. Dengan latar Jepang feodal—yang sudah lama dinanti oleh para penggemar—game ini seharusnya menjadi momen klimaks bagi pecinta kisah sejarah dan samurai. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, justru muncul gelombang kritik dan kekecewaan dari berbagai pihak, khususnya dari komunitas gamer dan pengamat budaya di Jepang.
Ubisoft sebelumnya dikenal sebagai studio yang cermat dalam memadukan sejarah dan fiksi lewat seri Assassin’s Creed. Mulai dari Renaissance Italia, Revolusi Prancis, hingga Mesir kuno, semua dilukiskan dengan detail budaya yang cukup akurat. Oleh karena itu, banyak penggemar berharap Assassin’s Creed Shadows bisa menjadi representasi yang layak untuk Jepang era Sengoku—masa perang saudara yang sangat berpengaruh dalam sejarah Jepang.
Namun ekspektasi tinggi tersebut kini berubah menjadi sorotan tajam. Trailer perdana yang dirilis justru memantik kontroversi. Dari isu representasi sejarah, pilihan karakter utama, hingga cara penggambaran budaya Jepang yang dianggap menyimpang dari realitas, semuanya menjadi bahan perdebatan panas.
Contents
Harapan Tinggi, Realita Tak Sesuai Ekspektasi

Sejak bertahun-tahun lalu, fans setia Assassin’s Creed di seluruh dunia—terutama di Jepang—telah menantikan satu hal: seri berlatar negeri samurai. Ekspektasinya sangat tinggi. Mereka membayangkan narasi khas Ubisoft yang kuat, dipadukan dengan budaya dan sejarah Jepang yang autentik, serta protagonis fiktif yang menyatu dalam kisah nyata era Sengoku.
Namun, harapan itu mulai luntur saat trailer pertama Assassin’s Creed Shadows dirilis. Sorotan langsung tertuju pada karakter utama yang tak biasa: Yasuke, seorang samurai kulit hitam asal Afrika yang memang benar-benar pernah hidup di Jepang abad ke-16. Dalam sejarah, Yasuke adalah mantan budak yang menjadi pengawal Oda Nobunaga—salah satu daimyo paling berpengaruh dalam sejarah Jepang.
Meskipun kisah Yasuke sangat menarik, banyak gamer dan sejarawan Jepang merasa pemilihan tokoh ini sebagai protagonis utama justru meminggirkan elemen-elemen budaya lokal. Fans menganggap bahwa Ubisoft lebih memilih sudut pandang yang terdengar “unik” di pasar global, ketimbang menggali sosok fiktif Jepang yang bisa dikembangkan secara bebas namun tetap akurat dari segi budaya.
Bagi sebagian kalangan, kehadiran Yasuke sebagai tokoh sentral dinilai sebagai keputusan yang terlalu berani dan kurang sensitif terhadap konteks historis Jepang. Mereka merasa Assassin’s Creed seharusnya mengangkat pahlawan lokal atau karakter fiksi baru yang lebih merepresentasikan jiwa bangsa Jepang di era tersebut.
Kontroversi Representasi Budaya yang Dipertanyakan

Masalah dalam Assassin’s Creed Shadows tak berhenti di pemilihan tokoh. Komunitas gamer Jepang juga menyoroti bagaimana budaya mereka ditampilkan secara visual dan naratif. Banyak elemen yang dianggap tidak akurat atau terkesan hanya “kulit luar” saja—seperti arsitektur rumah, kostum tradisional, hingga tata cara karakter berinteraksi dan bertarung.
Para pengamat budaya menyatakan bahwa Assassin’s Creed Shadows terlihat seperti hasil interpretasi Barat terhadap Jepang, bukan representasi yang dilandasi pemahaman mendalam. Ini mengundang kritik karena Ubisoft seolah lebih fokus pada gaya visual eksotik ketimbang validitas sejarah dan sosial-budaya lokal.
Beberapa pakaian dan elemen desain dianggap mencampur era dan tidak sesuai dengan konteks zaman Sengoku yang sebenarnya. Ditambah lagi, interaksi antar karakter tampak terlalu dipengaruhi oleh gaya Hollywood, alih-alih menggambarkan nuansa sosial Jepang feodal yang penuh hierarki dan kehormatan.
Bagi banyak warga Jepang, kesalahan ini bukan sekadar soal estetika, tapi tentang penghormatan terhadap sejarah dan identitas budaya mereka. Kritik ini semakin menguat karena Ubisoft tidak melibatkan konsultan budaya lokal dalam skala besar, padahal seri ini justru mengambil latar tanah kelahiran para pengkritik itu sendiri.
Reaksi dari Komunitas dan Pemerintah Jepang

Kekecewaan terhadap Assassin’s Creed Shadows ternyata tidak berhenti di kalangan gamer saja. Beberapa tokoh pemerintahan Jepang, akademisi, hingga budayawan pun ikut menyuarakan kritik mereka terhadap bagaimana game ini menggambarkan sejarah dan budaya Jepang.
Salah satu kritik utama datang dari kalangan sejarawan Jepang yang menilai bahwa Ubisoft telah melakukan distorsi terhadap konteks sejarah samurai. Mereka menilai penggambaran struktur sosial, peran samurai, hingga simbol-simbol budaya dalam game sangat tidak akurat. Hal ini dianggap berbahaya karena bisa membentuk pemahaman keliru terhadap budaya Jepang bagi pemain internasional.
Tak hanya itu, beberapa tokoh politik lokal bahkan menyebut game ini sebagai “contoh nyata dari cultural appropriation modern,” karena mengambil elemen budaya Jepang hanya untuk sensasi tanpa sensitivitas budaya. Sebagai respons, sempat muncul petisi online dari komunitas gamer Jepang yang menyerukan agar Ubisoft meninjau ulang narasi dan desain game-nya. Petisi tersebut dikabarkan telah ditandatangani lebih dari 100.000 orang hanya dalam beberapa hari.
Kritik ini memperlihatkan bahwa representasi budaya dalam industri hiburan digital bukan sekadar soal kreativitas, melainkan juga soal tanggung jawab terhadap akurasi dan sensitivitas budaya. Kasus ini menjadi pengingat bahwa ketika game menggunakan latar budaya nyata, proses produksi dan penokohan harus dilakukan dengan lebih hati-hati dan inklusif.
Apa Kata Penggemar Internasional?
Berbeda dengan reaksi keras dari komunitas Jepang, sebagian besar penggemar internasional justru menyambut baik kehadiran Yasuke sebagai karakter utama di Assassin’s Creed Shadows. Banyak dari mereka melihat ini sebagai langkah positif dalam menghadirkan keragaman representasi dalam game, serta upaya untuk mengangkat tokoh sejarah minoritas yang jarang disorot dalam narasi populer.
Beberapa komentator di forum global seperti Reddit dan ResetEra menilai bahwa kehadiran Yasuke memperkaya lore Assassin’s Creed dan memberikan perspektif baru yang belum pernah dieksplor sebelumnya. Mereka juga berargumen bahwa sejarah Yasuke, sebagai orang Afrika yang benar-benar pernah hidup dan diangkat menjadi samurai oleh Oda Nobunaga, layak mendapatkan sorotan yang lebih luas.
Namun, tak sedikit pula yang menyuarakan kekhawatiran bahwa Ubisoft terlalu fokus mengejar “keragaman” tanpa benar-benar memahami konteks sejarah dan budaya tempat karakter itu ditempatkan. Kritik ini terutama muncul dari mereka yang menganggap Assassin’s Creed seharusnya lebih setia pada nilai historiografi dan tidak terlalu tunduk pada tekanan politik atau tren global.
Perbedaan sudut pandang ini menciptakan jurang yang cukup besar antara komunitas Barat dan Timur. Jika di Barat pendekatan ini dianggap sebagai bentuk inklusivitas dan pembaruan, maka di Jepang justru dinilai sebagai simplifikasi dan pengabaian terhadap sensitivitas budaya lokal.
Ubisoft Masih Bungkam
Hingga artikel ini ditulis, Ubisoft belum merilis pernyataan resmi yang secara langsung menanggapi kontroversi seputar Assassin’s Creed Shadows. Pernyataan publik terakhir mereka hanya menyinggung bahwa game ini akan “menawarkan perspektif sejarah yang belum banyak dieksplor”, tanpa menjawab kritik mengenai representasi budaya dan akurasi historis yang sedang ramai diperbincangkan.
Sikap diam ini menuai reaksi beragam. Sebagian penggemar menganggap langkah Ubisoft sebagai bentuk ketegasan atas kebebasan berekspresi kreatif, sementara yang lain melihatnya sebagai ketidaksensitifan terhadap masukan komunitas, khususnya dari Jepang. Banyak yang menyayangkan minimnya transparansi Ubisoft dalam menjelaskan riset sejarah yang mereka lakukan atau sejauh mana pihak lokal dilibatkan dalam proses pengembangan game.
Dalam dunia yang semakin terbuka terhadap isu budaya dan representasi, bungkamnya pengembang dalam menghadapi kritik tajam seperti ini justru bisa memperburuk persepsi publik. Terlebih lagi, franchise Assassin’s Creed memiliki sejarah panjang sebagai game yang menggabungkan aksi fiksi dengan latar sejarah yang cukup akurat dan dihormati. Ketika elemen historis itu dipertanyakan, maka kepercayaan penggemar juga turut dipertaruhkan.
Kesimpulan: Kontroversi yang Tak Bisa Diabaikan
Assassin’s Creed Shadows sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu seri paling ikonik dalam sejarah franchise ini. Dengan latar Jepang feodal yang selama ini diidamkan para penggemar, harapan pun melambung tinggi. Sayangnya, alih-alih memberikan penghormatan terhadap budaya dan sejarah Jepang, Ubisoft justru tersandung isu representasi yang menimbulkan reaksi negatif dari komunitas lokal dan internasional.
Mulai dari pemilihan tokoh utama yang kontroversial hingga penggambaran budaya yang dianggap kurang akurat, Shadows memunculkan diskusi penting: apakah kreativitas developer boleh mengorbankan keaslian sejarah dan sensitivitas budaya? Kritik yang datang dari fans, budayawan, hingga pejabat pemerintahan Jepang menunjukkan bahwa isu ini tidak bisa dianggap remeh.
Bagi Ubisoft, ini bukan sekadar kritik biasa—melainkan ujian besar terhadap arah kreatif mereka ke depan. Apakah mereka akan terbuka terhadap dialog dan revisi? Ataukah akan tetap teguh pada visi mereka yang lebih global dan modern?
Yang jelas, Assassin’s Creed Shadows telah memulai debutnya bukan dengan sambutan meriah, melainkan perdebatan tajam yang kemungkinan besar akan terus berlanjut hingga gamenya rilis nanti.
Baca Juga: Review Assassin’s Creed Shadows: Petualangan Epik di Era Jepang Feodal